BIAS GENDER DALAM PENDIDIKAN
Oleh : Ka’anto,
M.S.I
A. Latar Belakang
Bagi suatu negara,
pendidikan merupakan realisasi kebijaksanaan untuk meningkatkan taraf
kesejahteraan yang dicita-citakan. Pendidikan merupakan komponen pokok dalam
pembinaan landasan pengembangan sosial budaya. Pendidikan juga sekaligus
penegak kemanusiaan yang berperadaban tinggi. Pendidikan tidak bisa lepas dari
kehidupan sosial.
Kesenjangan pada bidang
pendidikan dianggap menjadi faktor utama yang sangat berpengaruh terhadap
bidang lain , hampir semua sektor, seperti lapangan pekerjaan, jabatan, peran
dimasyarakat sampai pada masalah menyuarakan pendapat antara laki-laki dan
perempuan yang menjadi faktor penyebab bias gender adalah karena faktor
kesenjangan pendidikan yang belum setara selain masalah-masalah klasik yang
cenderung menjustifikasi ketidakadilan seperti intepretasi teks-teks keagamaan
yang tekstual dan kendala sosial budaya lainnya. Bahkan proses dan institusi
pendidikan dipandang berperan besar dalam mensosialisasikan dan melestarikan
nilai-nilai dan cara pandang yang mendasari munculnya berbagai ketimpangan
gender dalam masyarakat.
B.
Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian gender ?
2. Bagaimana bias gender dalam pendidikan ?
3. Bagaimana kesetaraan gender dalam
pendidikan ?
4.
Bagaimanakah upaya penanggulangan dampak negatif dari bias
gender ?
C. Pembahasan
1.
Pengertian
Gender
Hal penting yang perlu dilakukan dalam kajian gender adalah
memahami perbedaan konsep gender dan seks
(jenis kelamin). Kesalahan dalam memahami makna gender merupakan salah satu faktor
yang menyebabkan sikap menentang atau sulit bisa menerima analisis gender dalam
memcahkan masalah ketidakadilan sosial.
Seks adalah
perbedaan laki-laki dan perempuan yang berdasar atas anatomi biologis dan
merupakan kodrat Tuhan[1].
Menurut Mansour Faqih, sex berarti jenis kelamin yang merupakan penyifatan atau
pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis
kelamin tertentu. Perbedaan anatomi biologis ini tidak dapat diubah dan
bersifat menetap, kodrat dan tidak dapat ditukar. Oleh karena itu perbedaan
tersebut berlaku sepanjang zaman dan dimana saja.[2]
Sedangkan gender, secara
etimologis gender berasal dari kata gender yang berarti jenis kelamin.[3] Tetapi Gender merupakan perbedaan jenis kelamin yang bukan disebabkan oleh
perbedaan biologis dan bukan kodrat Tuhan, melainkan diciptakan baik oleh
laki-laki maupun perempuan melalui proses sosial budaya yang panjang. Perbedaan
perilaku antara pria dan wanita, selain disebabkan oleh faktor biologis
sebagian besar justru terbnetuk melalu proses sosial dan cultural. Oleh karena
itu gender dapat berubah dari tempat ketempat, waktu ke waktu, bahkan antar
kelas sosial ekonomi masyarakat.[4]
Dalam batas perbedaan yang paling sederhana, seks dipandang sebagai
status yang melekat atau bawaan sedangkan gender sebagai status yang diterima
atau diperoleh.
Mufidah dalam Paradigma Gender[5]
mengungkapkan bahwa pembentukan gender ditentukan oleh sejumlah faktor yang
ikut membentuk, kemudian disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi
melalui sosial atau kultural, dilanggengkan oleh interpretasi agama dan
mitos-mitos seolah-olah telah menjadi kodrat laki-laki dan perempuan.
Gender
merupakan analisis yang digunakan dalam menempatkan posisi setara antara
laki-laki dan perempuan untuk mewujudkan tatanan masyarakat sosial yang lebih
egaliter. Jadi, gender bisa dikategorikan sebagai perangkat operasional dalam
melakukan measure (pengukuran) terhadap persoalan laki-laki dan
perempuan terutama yang terkait dengan pembagian peran dalam masyarakat yang
dikonstruksi oleh masyarakat itu sendiri. Gender bukan hanya ditujukan kepada
perempuan semata, tetapi juga kepada laki-laki. Hanya saja, yang
dianggap mengalami posisi termarginalkan sekarang adalah pihak perempuan, maka
perempuanlah yang lebih ditonjolkan dalam pembahasan untuk mengejar kesetaraan
gender yang telah diraih oleh laki-laki beberapa tingkat dalam peran sosial,
terutama di bidang pendidikan karena bidang inilah diharapkan dapat mendorong
perubahan kerangka berpikir, bertindak, dan berperan dalam berbagai segmen
kehidupan sosial.
2.
Bias
Gender dalam Pendidikan
Yang
dimaksud bias gender adalah mengunggulkan salah satu jenis kelamin dalam
kehidupan sosial atau kebijakan publik. Bias gender dalam pendidikan adalah
realitas pendidikan yang mengunggulkan satu jenis kelamin tertentu sehingga
menyebabkan ketimpangan gender.[6]
Berbagai bentuk kesenjangan gender yang terjadi
dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat, terpresentasi juga dalam dunia
pendidikan. Bahkan proses dan institusi pendidikan dipandang berperan besar
dalam mensosialisasikan dan melestrikan nilai-nilai dan cara pandang yang mendasari
munculnya berbagai ketimpangan gender dalam masyarakat. Secara garis besar,
fenomena kesenjangan gender dalam pendidikan dapat diklasifikasi dalam beberapa
dimensi, antara lain:
a.
Kurangnya
partisipasi (under-participation).
Dalam hal partisipasi pendidikan,perempuan di seluruh dunia menghadapi problem
yang sama. Dibanding lawan jenisnya, partisipasi perempuan dalam pendidikan
formal jauh lebih rendah Dinegara-negara dunia ketiga di mana pendidikan dasar
belum diwajibkan, jumlah murid perempuan umumnya hanya separuh atau sepertiga
jumlah murid laki-laki.[7]
b.
Kurangnya keterwakilan (under-representation).
Partisipasi perempuan dalam pendidikan sebagai tenaga pengajar maupun pimpinan
juga menunjukkan kecenderung disparitas progresif. Jumlah guru perempuan pada
jenjang pendidikan dasar umumnya sama atau melebihi jumlah guru laki-laki.
Namun, pada jenjang pendidikan lanjutan dan pendidikan tinggi, jumlah tersebut
menunjukkan penurunan drastis.
c.
Perlakuan yang tidak adil (unfair
treatment) Kegiatan pembelajaran dan proses interaksi dalam kelas
seringkali bersifat merugikan murid perempuan. Guru secara tidak sadar
cenderung menaruh harapan dan perhatian yang lebih besar kepada murid laki-laki
dibanding murid perempuan. Para guru kadangkala cenderung berpikir ke arah "self
fulfilling prophecy" terhadap
siswa perempuan karena menganggap perempuan tidak perlu memperoleh pendidikan
yang tinggi.
Terjadinya pengingkaran dan diskriminasi terhadap hak-hak perempuan
seperti yang digambarkan di atas, menurut Masdar F. Mus’udi pangkal mulanya
adalah disebabkan oleh adanya pelabelan sifat-sifat tertentu pada kaum
perempuan yang cenderung merendahkan. Misalnya perempuan itu lemah, lebih
emosional ketimbang nalar, cengeng, tidak tahan banting, tidak patut hidup
selain di dalam rumah tangga, dll.
Setidaknya ada empat persoalan yang menimpa perempuan akibat adanya
pelebelan ini[8].
Pertama, melalui proses subordinasi (meletakkan perempuan di bawah
supremasi lelaki), perempuan harus tunduk kepada sesame manusia, yakni
kaumlelak. Pemimpin atau imam hanya pantas dipantas dipegang oleh laki-laki,
perempuan hanya bolehh menjadi makmum saja. Kedua, perempuan cenderung
dimarginalkan, diletakkan di pinggir. Ketiga, karena kedudukannya yang
lemah, perempuan sering menjadi sasaran tindak kekerasan oleh kaum laki-laki. Keempat,
perempuan hanya menerima beban pekerjaan yang jauh lebih berat dan lebih
lama daripada yang dipukul kaum laki-laki.
Secara khusus faktor penyebab bias gender dalam Pendidikan adalah:
a.
Perbedaan angkatan partisipasi pendidikan pada tingkat
SD/Ibtidaiyah sudah mencapai titik optimal yang tidak mungkin diatasi hanya dengan
kebijakan pendidikan, sehingga perbedaan itu menjadi semakin sulit ditekan ke
titik yang lebih rendah lagi. Kesenjangan ini lebih dipengaruhi oleh
faktor-faktor struktur karena fasilitas pendidikan SD sudah tersebar relatif
merata. Faktor-faktor struktural itu di antaranya adalah nilai-nilai sosial
budaya, dan ekonomi keluarga yang lebih menganggap pendidikan untuk anak
laki-laki lebih penting dibandingkan dengan perempuan. Faktor ini berlaku
terutama di daerah-daerah terpencil yang jarang penduduknya serta pada
keluarga-keluarga berpendidikan rendah yang mendahulukan pendidikan untuk anak
laki-laki.
b.
Pada tingkat SLTP/Tsanawiyah dan SMU/Madrasah Aliyah perbedaan
angka partisipasi menurut gender lebih banyak terjadi pada daerah-daerah yang
masih kekurangan fasilitas pendidikan, terutama di daerah-daerah pedesaan dan
luar Jawa. Faktor penyebab bias gender pada tingkat SLTP ke atas relatif lebih
kecil dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial budaya dan ekonomi keluarga karena
siswa dan mahasiswa yang datang dari keluarga sosial ekonomi tinggi sudah lebih
besar proporsinya. Dengan demikian, pengadaan dan distribusi sumber-sumber
pendidikan SLTP, SLTA dan Perguruan Tinggi masih menjadi faktor penting untuk
mengurangi bias gender dalam pendidikan.
c.
Partisipasi perempuan dalam proses pengambilan keputusan pendidikan
sangat rendah karena akses perempuan juga masih dirasakan rendah dalam
menempati jabatan-jabatan birokrasi pemegang kebijakan. Proporsi kepada sekolah
perempuan secara konsisten masih kecil dibandingkan dengan laki-laki pada
setiap jenjang pendidikan. Perempuan pemegang jabatan struktural, dari
tingkatan strategis sampai operasional jauh lebih rendah daripada lawan
jenisnya. Oleh karena itu, banyak kebijakan pendidikan kurang sensitif gender,
yang akan berdampak luas terhadap berbagai dimensi bias gender dalam bidang
pendidikan.
d.
Laki-laki lebih dominan dalam mempengaruhi isi kurikulum sehingga
proses pembelajaran cenderung bias laki-laki (male bias). Fenomena ini
dapat diamati dari buku-buku pelajaran yang sebagian besar penulisnya adalah
laki-laki. Penulis buku laki-laki sangat dominan.
e.
Isi buku pelajaran yang membahas status perempuan dalam masyarakat
akan banyak memberikan pengaruh terhadap kesenjangan gender dalam proses
pendidikan. Muatan dari sebagian bukubuku pelajaran (khususnya IPS, PPKN,
Pendidikan Jasmani, Bahasa dan Sastra Indonesia, Kesenian dan sejenisnya) yang
berhasil diamati cenderung kurang berwawasan gender khususnya berkaitan dengan
konsep keluarga atau peran perempuan dalam keluarga yang telah lama dipengaruhi
oleh cara berpikir tradisional, bahwa laki-laki adalah pemegang fungsi produksi
sedangkan perempuan memegang fungsi reproduksi.
f.
Faktor
kesenjangan antar gender dalam pendidikan jauh lebih dominan laki-laki.
Khususnya dalam lembaga birokrasi di lingkungan pendidikan sebagai pemegang
kekuasaan atau kebijaksanaan, maupun dalam jabatan-jabatan akademis
kependidikan sebagai pemegang kendali pemikiran yang banyak mempengaruhi
pendidikan. Keadaan ini akan semaik bertambah parah jika para pemikir atau
pemegang kebijaksanaan pendidikan tersebut tidak memiliki sensivitas gender.
g.
Khusus
pada kebijaksanaan pendidikan, khususnya menyangkut sistem seleksi dalam
pendidikan. Kontrol dalam penerimaan karyawan terutama disektor swasta sangat
dirasakan bias gender. Kenyataan menunjukkan bahwa jika suami istri berada
dalam salah satu perusahaan, misalnya Bank, baik ilik pemerintah maupun swasta,
maka salah satunya memilih untuk keluar dan biasanya perempuanlah yang memilih
keluar dari pekerjaan. Ini bagian dari faktor-faktor bias gender dalam
pendidikan.
h.
Faktor
struktural yakni yang menyangkut nilai, sikap, pandangan dan perilaku masyarakat
yang secara dominan mempengaruhi keputusan keluarga untuk memilih
jurusan-jurusan yang lebih dianggap cocok untuk perempuan, seperti pekerjaan
perawat, kesehatan, teknologi kerumahtanggaan, psikologi, guru sekolah, dan
sebagainya. Hal ini terjadi karena perempuan dianggapnya memiliki fungsi-fungsi
produksi. Laki-laki dianggap berperan sebagai fungsi penopang ekonomi keluarga
sehingga harus lebih banyak memilih keahlian-keahlian ilmu teknologi dan
industri.
Faktor
lain yang turut mempengaruhi bias gender dalam pendidikan adalah muncul
persaingan dengan teknologi yang menggantikan peranan pekerja perempuan dengan
mesin. Dampaknya, lagi-lagi perempuan menjadi korban teknologi khususnya
perempuan yang memiliki tingkat pendidikan rendah ditambah pula dengan kemampuan
ekonomi yang masih lemah.[9]
3.
Kesetaraan
Gender dalam Pendidikan
Keadilan dan
kesetaraan adalah gagasan dasar, tujuan dan misi utama peradaban manusia untuk
mencapai kesejahteraan, membangun keharmonisan kehidupan bermasyarakat,
bernegara dan membangun keluarga berkualitas. Jumlah penduduk perempuan hampir
setengah dari seluruh penduduk Indonesia dan merupakan potensi yang sangat
besar dalam mencapai kemajuan dan kehidupan yang lebih berkualitas.
Kesetaraan
Gender, Kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh
kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan
berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya,
pendidikan dan pertahanan & keamanan nasional (hankamnas) serta kesamaan
dalam menikmati hasil pembangunan. Keadilan gender suatu perlakuan adil
terhadap perempuan dan laki-laki.
Perbedaan
biologis tidak bisa dijadikan dasar untuk terjadinya diskriminasi mengenai hak
sosial, budaya, hukum dan politik terhadap satu jenis kelamin tertentu.
Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda, subordinasi,
marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki. Terwujudnya
kesetaraan dan keadilan gender, ditandai dengan tidak adanya diskriminasi
antara perempuan dan laki-laki dan dengan demikian mereka memiliki akses,
kesempatan berpartisipasi dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh manfaat
yang setara dan adil dari pembangunan.
Dasar persamaan
pendidikan menghantarkan setiap individu atau rakyat mendapatkan pendidikan
sehingga bisa disebut pendidikan kerakyatan. Sebagaimana Athiyah, Wardiman
Djojonegoro menyatakan bahwa ciri pendidikan kerakyatan adalah perlakuan dan
kesempatan yang sama dalam pendidikan pada setiap jenis kelamin dan tingkat
ekonomi, sosial, politik, agama dan lokasi geografis publik. Dalam kerangka
ini, pendidikan diperuntukkan untuk semua, minimal sampai pendidikan dasar.
Sebab, manusia
memiliki hak yang sama dalam mendapatkan pendidikan yang layak. Apabila ada
sebagian anggota masyarakat, sebodoh apapun yang tersingkir dari kebijakan
kependidikan berarti kebijakan tersebut telah meninggalkan sisi kemanusiaan
yang setiap saat harus diperjuangkan.[10]
Sebagaimana
disebutkan sebelumnya, bahwa nilai kemanusiaan terwujud dengan adanya
pemerataan yang tidak mengalami bias gender. Masalah pendidikan, antara anak
perempuan dan anak laki-laki hendaknya harus seimbang. Anak perempuan,
sebagaimana anak laki-laki harus punya hak/kesempatan untuk sekolah lebih
tinggi. Bukan menjadi alternative kedua jika kekurangan biaya untuk sekolah.
Hal ini dengan pertimbangan adanya penghambur-hamburan uang sebab mereka akan
segera bersuami, peluang kerjanya kecil dan bisa lebih banyak membantu orang
tua dalam pekerjaan rumah.
Pendirian
seperti ini melanggar etika Islam yang memperlakukan orang dengan standar yang
materialistik. Islam menyerukan adanya kemerdekaan, persamaan dan kesempatan
yang sama antara yang kaya dan yang miskin dalam bidang pendidikan di samping
penghapusan sistem-sistem kelas-kelas dan mewajibkan setiap muslim laki-laki
dan perempuan untuk menuntut ilmu serta memberikan kepada setiap muslim itu
segala macam jalan untuk belajar, bila mereka memperlihatkan adanya minat dan
bakat.
Dengan
demikian, pendidikan kerakyatan seharusnya memberikan mata pelajaran yang
sesuai dengan bakat dan minat setiap individu perempuan, bukan hanya diarahkan
pada pendidikan agama dan ekonomi rumah tangga melainkan juga masalah pertanian
dan keterampilan lain. Pendidikan dan bantuan terhadap perempuan dalam semua
bidang tersebut akan menjadikan nilai yang amat besar-merupakan langkah awal
untuk memperjuangkan persamaan yang sesungguhnya.
Pendidikan
memang harus menyentuh kebutuhan dan relevan dengan tuntutan zaman yaitu
kualitas yang memiliki keimanan dan hidup dalam ketakwaan yang kokoh,
mengenali, menghayati dan menerapkan akar budaya bangsa, berwawasan luas dan
komprehensif, menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan mutakhir, mampu
mengantisipasi arah perkembangan, berpikir secara analitik, terbuka pada
hal-hal yang baru, mandiri, selektif, mempunyai kepedulian sosial yang tinggi
dan berusaha meningkatkan prestasi. Perempuan dalam pendidikannya juga
diarahkan agar mendapatkan kualitas tersebut sesuai dengan taraf kemampuan dan
minatnya.
Ungkapan
Athiyah tentang pendidikan perempuan seakan menyadari kondisi riil historisitas
kaum muslimin yang secara sosial perempuan seringkali dirugikan oleh perilaku
sosialnya. Seperti gadis-gadis harus putus sekolah karena diskriminasi gender
(sebab pernikahan atau hamil diluar nikah) atau karena keterbatasan ekonomi
anak laki-laki mendapatkan prioritas utama walau potensinya tidak lebih tinggi
daripada anak perempuan.
4. Upaya Penanggulangan Dampak
Negatif dari Bias Gender Pendidikan dalam Islam
Untuk mengembalikan nilai kerakyatan dan kemanusiaan pendidikan,
Athiyah berpendapat bahwa pendidikan harus dipusatkan pada ibu. Apabila
perempuan terdidik dengan baik, niscaya pemerataan pendidikan telah mencapai
sasaran. Sebab, ibu adalah pendidik pertama dan utama dalam keluarga. Minim
sekali orang yang terlepas dari jangkauan ibunya. Ibu adalah sekolah bagi
rakyat tanpa mengenal lelah, ekonomi, waktu dan dilakkukan penuh kasih sayang.
Padahal inti demokrasi tertinggi adalah saat keterbukaan, kerelaan dan
persaudaraan telah mencapai tingkat kasih sayang. Peran ini adalah pendidikan
nonformal yang biasa dilakkukan perempuan di rumah.
Presiden Tanzania, Nyerere pernah mengatakan, “Jika anda mendidik
seorang laki-laki, berarti anda telah mendidik seorang person, tetapi jika anda
mendidik seluruh orang perempuan berarti anda telah mendidik seluruh anggota
keluarga.” Kondisi tersebut tidak bisa diperoleh lewat pendidikan yang
meninggalkan nilai persamaan dan kemanusiaan.
Sering dipahami bahwa perempuan didominasi perasaan daripada rasio.
Karenanya mereka cenderung sensitive, berbeda dengan laki-laki yang lebih
rasional karena yang dominan dalam dirinya adalah rasio sehingga perempuan
tidak membutuhkan pendidikan yang tinggi yang melibatkan rasio tersebut.
Sebenarnya, kondisi yang sering disalah tafsirkan ini dari sisi kemanusiaan
malah menunjukkan sebaliknya, yaitu perempuan memliki beberapa kelebihan
diantaranya adalah lebih berperannya hati. Padahal, hati merupakan penentu
nilai baik-buruk individu. Mereka yang dekat dengan alam, tekun dan teliti.
Banyak bidang-bidnag yang membutuhkan kelebihan-kelebihan tersebut.
Di samping itu, dengan hati nurani juga seseorang membongkar
kemunafikan. Bila hati nurani jernih dan bersih, pasti sesuai dan sama dengan
hati nurani bangsa serta rakyat secara keseluruhan. Memang, perempuan cenderung
emosional dan sensitive. Karenanya, dengan hati dan kesensitivannya mereka
mendapatkan firasat-firasat keibuan yang membuatnya menjadi peka dan memiliki
intuisi tajam akan apa yang ada di permukaan dan kasih sayang. Hal inilah yang
menjadi inti dari nilai kemanusiaan.
Pusat pendidikan pada ibu, dapat memberi kepekaan diatas
sebagaimana kata Rukmini, “Ibulah yang pertama kali tekun mendidik saya untuk
memahami dunia dan kehidupan ini sebagai keutuhan sistem. Beliau selalu
mengajak saya bangun pada malam hari melihat bintang dan menjelaskan soal jagad
gede dan kaitannya dengan jagad cilik. Dari beliau saya bisa belajar
mengenai bagaimana memahami keberadaan hidup ini dengan cara pandang yang
taembus ruang dan waktu.”Dengan kasih sayangnya Rukmini melakukan pembelaan
terhadap siapa yang lemah dan tertindas. Kepedulian seperti itu tak akan
dilakukan oleh mereka yang tidak memiliki hati nurani.[11]
Upaya lain untuk mengatasi bias gender dalam
pendidikan Islam yang dapat dilakukan sebagai berikut:
a. Reintepretasi ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits yang bias
gender dilakukan secaa kontinu agar ajaran agama tidak dijadikan justifikasi
sebagai kambing hitam untuk memenuhi keinginan segelintir orang.
b. Muatan kurikulum nasional yang menghilangkan dikotomis
antara laki-laki dan perempuan, demikian pula kurikulum local dengan berbasis
kesetaraan, keadilan dan keseimbangan. Kurikulum disusun sesuai dengan
kebutuhan dan tipologi daerah yang dimulai dari tingkat pendidikan Taman
Kanak-Kanak sampai ke tingkat Perguruan
Tinggi.
c. Pemberdayaan kaum perempuan di sector pendidikan
informal seperti pemberian fasilitas belajar mulai di tingkat kelurahan sampai
kepada tingkat kabupaten disusaikan dengan kebutuhan daerah.
d. Pemberdayaan disector ekonomi untuk meningkatkan
pendapatan keluarga terutama dalam kegiatan industry rumah tangga. Dengan
demikian akan menghilangkan ketergantungan ekonomi kepada laki-laki karena
salah satu terjadinya marginalisasi pada perempuan adalah ketergantungan
ekonomi keluarga kepada laki-laki.
e. Pendidikan politik bagi perempuan agar dilakukan
secara intensif untuk menghilangkan melek politik bagi perempuan. Karena masih
ada anggapan bahwa politik itu hanya miliki laki-laki dan politik itu adalah
kekerasan, padahal sebaliknya politik adalah seni untuk mecapai kekuasaan.
Dengan demikian kuota 30% sesuai dengan amanah Undang-Undang segera terpenuhi,
mengingat pemilih terbanyak adalah perempuan.
f. Pemberdayaan disektor keterampilan, baik keterampilan
untuk kebutuhan rumah tangga maupun yang memiliki nilai jual ditingkatan,
terutama kaum perempuan di pedasaan agar terjadi keseimbangan antara perempuan
yang tinggal di perkotaan dengan pedesaan sama-sama memiliki keterampilan yang
relative bagus.
g. Sosialisasi Undang-Undang Anti Kekerasan dalam Rumah
Tangga lebih intens dilakukan agar kaum perempuan mengetahui hak dan kewajiban
yang harus dilakukan sesuai dengan amahan dari UUK.
DAFTAR PUSTAKA
Fakih, Mansour. 1996. Analisis
Gender & Transformasi Sosial. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
http://id.wikipedia.org/wiki/Gender
http://perjalanankuliahkita.blogspot.com/2013/07/makalah-gender.html
Jurnal Perempuan Untuk Pencerahan
Dan Kesetaraan, No. 14.
Muchtar, Yati. 2001. Gerakan
Perempuan Indonesia Dan Politik Gender Orde Baru.
Soekito, Sri Widoyatiwiratmo.
1989. Anak Dan Wanita Dalam Hukum. LP3ES: Jakarta
Soewondo, Nani. 1984. Kedudukan
Wanita Indonesia Dalam Hukum Dan Masyarakat. Ghalia: Indonesia, Jakarta.
Undang-Undang Dasar. 1945.
Apollo: Surabaya.
[1] Nasarudin Umar,
Argumen Kesetaraan Gender : Perspektif al-Qur’an, Jakarta : Paramadina,
2001, hal. 1.
[2] Mansour Faqih,
Analisis gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
1996, hal.8.
[3] Jhon M. Echol, dan Hasan Shadily,
Kamus Besar Inggris-Indonesia, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1996),
cet.23a
[7] Amasari (Member of PSG LAIN), Laporan
Penelitian Pendidikan Berujatuasan Gender,(Banjannasin: IAIN Antasari,
2005), hal. 31.
[8] Masdar F.
Mas’udi, Perempuan Dalam Wacana Keislaman, Jakarta : Penerbit Obor,
1997, hal,55-57.
[9] Rukmina
Gonibala, Fenomena Bias
Gender Dalam Pendidikan Islam, (artikel STAIN Manado Juli - Desember 2007), hal. 40-41.
[10] Eni Purwati
dan Hanun Asrohah, Bias Gender dalam Pendidikan Islam, (Surabaya: Alpha,
2005), 30.
Comments
Post a Comment